| |
Patra mengaku mustahil melarikan tanggung jawabnya. Ia memutuskan menikahi pacarnya yang tengah menghamili darah dagingnya. Namun, saat resmi berstatus pasutri, keduanya memilih lebih mencurahkan perhatian pada si buah hati. Studi di kampus distop untuk sementara waktu. Keduanya berencana baru melanjutkan lagi menuntut ilmu di bangku perguruan tinggi kelak setelah anaknya lahir. Rencana tersebut berjalan mulus. Buah hati yang sehat telah meramaikan suasana kehidupan keluarga kecil ini. Namun, Patra dan istrinya tak bisa senantiasa berada di sisi sang jabang bayi. Keduanya harus segera kembali masuk kampus. “Saat masuk kuliah lagi, buah hati kami diasuh orangtua saya,” aku Patra. Menariknya, Patra dan istrinya tak merasa terbebani dengan pengalaman pranikah karena kehamilan tak diinginkan (KTD) tersebut. Mereka tetap bergaul seperti biasa dengan lingkungan sekitarnya. Namun, masalahnya justru terletak pada porsi tanggung jawab sebagai suami dan istri yang memiliki seorang anak. Keduanya nyaris tak merasa memiliki beban tanggung jawab sebagai telah memiliki sebuah keluarga kecil. Walhasil keributan sebagai pasutri sering meletup tanpa ada beban tanggung jawab, dan sering terjadi. Beruntung konflik Patra dan istrinya masih sering mampu didamaikan orangtua mereka. Pengalaman Patra sekeluarga itu nyaris serupa dengan apa yang dialami seorang mahasiswi lain di Denpasar, sebut saja namanya Indah. Saat masih berstatus mahasiswi, Indah telanjur berhubungan terlalu jauh dengan pacarnya. Indah pun hamil di luar nikah. Namun, nasib baik masih berpihak padanya. Sang kekasih mau bertanggung jawab. Indah bersedia dinikahinya. Saat menjadi ibu muda, Indah memutuskan berhenti kuliah. Tanggung jawab mengurus anak di rumah jauh lebih besar. Indah relah meninggalkan bangku kuliah. Suaminya yang berstatus mahasiswa pula terpaksa angkat kaki dari dunia kampus. Kepala rumah tangga ini harus menafkahi keluarga kecilnya. Ia memutuskan mencari pekerjaan. Namun, masalah ekonomi keluarga belakangan acap mengundang cekcok pasutri ini. Sumber nafkah keluarga yang minim membuat keributan nyaris tak terelakkan. Celakanya, konflik ini malah berlangsung berkepanjangan. “Buntutnya kami ingin bercerai,” aku Indah. Lagi-lagi seperti pengalaman Patra tadi, mimpi buruk keluarga muda ini bisa dihalau. Kedua orangtua mereka menjadi penengah yang baik. Pasutri muda ini hidup rukun lagi. Pergeseran Persepsi Pengalaman perkawinan di usia muda tersebut menyisakan catatan merisaukan bagi pengamat sosial, Dokter Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si. Dua kisah keluarga muda yang belum rampung studinya di perguruan tinggi tersebut dinilainya mengungkap salah satu sisi fenomena sosial, terutama seputar perkawinan usia muda yang diasumsikan terkait dengan adanya pergeseran persepsi tentang makna pergaulan di kalangan anak muda usia. Hal itu pun disebutkannya hendak menjelaskan tren sikap individualistik serta lemahnya pengawasan di kalangan orangtua Terhadap anak di era belakangan ini. “Pergeseran persepsi, sikap individualistik, dan pengawasan orangtua seperti ini menjadi sumber masalah yang mengancam keselamatan sebuah keluarga pasangan muda usia,” kata mahasiswa S3 Program Pascasarjana Unud, ini. Peran orangtua menjadi perhatian utama Dokter Mita —panggilan akrab istri dari Komang Budiarta, S.E, ini. Orangtua harus menempatkan diri bukan semata untuk memenuhi kebutuhan anaknya belaka. Fungsi orangtua sebagai teman tak kalah pentingnyanya bagi anak. Interaksi intensif antara orangtua dan anak harus berjalan sebaik-baiknya. “Orangtua haris mengahayati fungsi mereka seperti ini,” desak alumnus fakultas kedokteran Unud, ini. Pendidikan seks kembali disinggungnya. Alumnus S2 Program Kajian Budaya Pascasarjana Unud, ini menilai pentingnya pendidikan seks dalam keluarga. Jelasnya, itu berupa pengetahuan seputar kesehatan reproduksi yang mesti diketahui anak sejak dini sesuai kadar usianya. “Pengetahuan seks dalam keluarga bukan lagi hal tabu,” tegasnya. Yang jelas, tanggung jawab menyelamatkan generasi muda dari “perilaku menyimpang” bukan hanya urusan orangtua saja. Ini merupakan tanggung jawab semua komponen negara. “Penanganannya pun harus menyeluruh,” tegasnya. Namun, peran keluarga tetap utama. Pendidikan budi pekerti dan moral agama berada mulanya dari keluarga. Kedua hal ini harus mendapat perhatian lebih banyak oleh orangtua. Kontrol masyarakat dan peran sekolah tak kalah penting. Pihak sekolah harus yang mengenalkan pendidikan seks kepada anak didik. Caranya, pengetahuan ini diselipkan pada materi pelajaran tertentu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan juga tak kalah penting. “Sekarang kan banyak anak muda kalau masuk hotel, bebas asal mau bayar di muka. Banyak hotel yang dapat disewa per jam. Itu kan sudah melemahkan kontrol kita pada anak,” khawatir Dokter Mita. Maraknya perkawinan usia muda dinilai lebih disebabkan pergaulan bebas anak muda. Zaman sekarang jarang ada anak muda yang mau dijodohkan orangtuanya dalam menentukan pasangan hidup berkeluarga. “Kalau pun toh akhirnya mereka menikah, itu karena rasa cinta,” nilainya. Lemahnya kontrol masyarakat pun bisa mendorong mencuatnya kasus pergaulan bebas. Tapi, masyarakat diminta jangan buru-buru menyalahkan remaja yang telanjur “salah bergaul.” Kematangan Berkeluarga Jenjang perkawinan bukan sebuah kehidupan main-main. Kesiapan membentuk sebuah keluarga kecil amatlah penting. Kesiapan ini berupa kematangan psikis, fisik, dan emosional. Berbekal kematangan ini kelak pasutri diyakini akan dapat mengelola rumah tangganya dengan bijaksana. Salah satu ukuran kematangan usia pasutri tersebut disorot Dokter Mita dari sisi umur. Calon pasutri dianggap matang bila telah memasuki usia 25 tahun ke atas. “Di usia ini mereka dianggap sudah melewati masa remaja akhir,” jelas staf pengajar di PPs Unud, ini. Perkawinan usia muda sebenarnya bukan hanya masalah konflik keluarga. Masalah kesehatan reproduksi pun biasanya muncul dalam berbagi keluhan. “Mereka kan belum cukup dibekali pengetahuan menjaga kesehatan alat reproduksi, bagaimana mengasuh dan mendidik anak,” jelasnya. Pola pikir mereka pun umumnya masih dangkal. Dari segi ekonomi, bagaimana pasangan muda harus berjuang mencari nafkah. Padahal, ada di antara mereka yang mungkin belum menamatkan pendidikan. Belum lagi dilihat tingginya tingkat persaingan dalam mencari pekerjaan, kurangnya kesabaran dan atau belum matang secara emosional. Akhirnya jelas cenderung berupa konflik dalam perkawinan usia muda. Repotnya, cara menyelesaikan konflik rumah tangganya cenderung masih bersifat kekanak-kanakan. “Jadinya, ribut melulu,” katanya. —ast sumber:http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=832 |
TITANOBOA
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar